ETIKA, INTELEKTUALISME DAN
PROPAGANDA
Written by : Yusril Ihza Mahendra/November
24 2007.
Posted by
/date :
Basri Yusuf/February 22, 2012.
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Setelah
berselang satu hari sejak saya memposting renungan terkait dengan norma etika,
saya melihat telah ada lebih dari tiga puluh tanggapan dari para komentator.
Saya mengucapkan terima kasih atas semua tanggapan itu, baik yang berupa saran,
pertanyaan maupun kritik atas apa yang saya tuliskan. Dari semua tanggapan itu,
saya dapat menangkap kesan bahwa kebanyakan komentator berpandangan bahwa norma
etika memang perlu ditegakkan. Ada yang mengusulkan agar ada pihak yang
mensponsori perumusan etika universal di dunia blog. Namun timbul pula
kekhawatiran, kalau rumusan etika itu disepakati, justru akan membuat dunia
blog, tidak lagi sebagai media ekspressi pemikiran yang tajam dan menarik.
Dunia blog akan menjadi serupa dengan media yang lain, seperti koran dan
majalah. Saya dapat memahami pendapat ini.
Tulisan
saya memang berisi sebuah renungan bagi kita semua. Tidak berarti saya
menggurui siapa-siapa, karena yang pertama-tama saya gurui adalah diri saya
sendiri. Persoalan etika memang persoalan fundamental dalam kehidupan manusia,
sebab itulah saya mencoba untuk membahasnya, dalam situasi yang baru, ketika
teknologi informasi memperkenalkan blog sebagai wahana berkomunikasi.
Inti masalah yang saya bahas, bukanlah masalah baru. Sejak Nabi Musa, Plato dan
Aristoteles masalah ini telah dibahas. Pada hemat saya, norma-norma etika
adalah norma-norma fundamental dan absolut yang mengandung sifat universal,
seumpama Ten Commandements Nabi Musa. Norma jangan membunuh, jangan
mencuri, jangan berdusta, jangan memfitnah dan sebagainya adalah norma
fundamental dan absolut. Tanpa norma-norma itu, maka manusia akan
kehilangan hakikat sebagai manusia yang sejati.
Norma etika berbeda prinsipil dengan norma sopan santun yang bersifat konvensional, relatif dan tergantung penerimaan sebuah komunitas. Norma sopan santun satu suku-bangsa tentu berbeda dengan norma sopan santun suku-bangsa lainnya. Norma etika juga berbeda dengan norma hukum, yang pada umumnya diformulasikan ke dalam hukum postif yang tertulis. Norma hukum akan jelas kapan dinyatakan berlaku, dan kapan tidak berlaku lagi. Norma etika berlaku universal dan berlaku selamanya. Hanya dalam keadaan tertentu, atau ada faktor-faktor tertentu, yang memungkinkan norma etika dapat dikesampingkan. Harus ada justifikasi yang kuat untuk memungkinkan hal itu, seperti keadaan yang amat memaksa. Saya menyadari bahwa etika seringkali berhadapan dengan dilema, suatu situasi yang amat sulit, dan suatu pilihan yang amat sulit.
Norma etika berbeda prinsipil dengan norma sopan santun yang bersifat konvensional, relatif dan tergantung penerimaan sebuah komunitas. Norma sopan santun satu suku-bangsa tentu berbeda dengan norma sopan santun suku-bangsa lainnya. Norma etika juga berbeda dengan norma hukum, yang pada umumnya diformulasikan ke dalam hukum postif yang tertulis. Norma hukum akan jelas kapan dinyatakan berlaku, dan kapan tidak berlaku lagi. Norma etika berlaku universal dan berlaku selamanya. Hanya dalam keadaan tertentu, atau ada faktor-faktor tertentu, yang memungkinkan norma etika dapat dikesampingkan. Harus ada justifikasi yang kuat untuk memungkinkan hal itu, seperti keadaan yang amat memaksa. Saya menyadari bahwa etika seringkali berhadapan dengan dilema, suatu situasi yang amat sulit, dan suatu pilihan yang amat sulit.
Pada
hemat saya, tidak perlu kita merumuskan kode etik, code of conducts dan
sejenisnya dalam bentuk yang tertulis. Norma-norma etika harus hidup di
dalam hati-sanubari setiap orang. Dia harus tumbuh sebagai kesadaran. Sebelum
melakukan sesuatu, setiap kita hendaknya bertanya kepada hati nurani kita
masing-masing: patutkah hal ini saya lakukan? Dasar dari segala norma etika
adalah keadilan. Adakah adil, kalau saya mengatakan sesuatu atau melakukan
seuatu kepada orang lain? Ini adalah pedoman dalam tindakan. Persoalan
etika, bukan persoalan bisa atau tidak bisa, mampu atau tidak mampu, dan
dapat atau tidak dapat. Persoalan etika ialah persoalan boleh
atau tidak boleh.
Saya
bisa saja memukul orang lain, karena saya menguasai ilmu bela diri, tetapi
bolehkah? Saya mampu saja mengambil barang dagangan pedagang di pinggir
jalan, karena penjualnya seorang wanita tua, tetapi bolehkah? Saya dapat saja
memfitnah dan mencaci maki orang lain karena saya punya blog yang tidak
dapat dikontrol siapapun, tetapi bolehkah? Saya memiliki senjata, saya
dapat saja menembak orang lain, tapi bolehkah saya membunuh
seseorang? Semua pertanyaan ini haruslah dikembalikan kepada kesadaran
hati-nurani kita masing-masing. Dengan cara itu, kita akan memiliki apa yang
disebut dengan “tanggungjawab etika” atau “tanggungjawab moral”. Sia-sia saja kita
merumuskan kode etik secara tertulis. Percuma saja kita merumuskan matriks
yang memuat sederet kewajiban dan larangan untuk dihafal luar kepala. Semua itu
tidak menjadi jaminan apa-apa agar norma ditaati. Pengetahuan seseorang
tentang sesuatu, tidaklah berbanding lurus dengan kesadarannya. Apalagi
ketaatannya.
Dalam
pandangan saya, kesadaran etika seperti uraian di atas itu akan mempu
membedakan mana tulisan yang berisi polemik iintelektual, dan mana tulisan yang
dapat dikategorikan sebagai agitasi, propaganda dan perang urat syaraf. Dalam
sejarah bangsa kita, kita telah menemukan banyak polemik yang tinggi mutu
intelektualnya, dan memberikan kontribusi besar bagi proses pembentukan bangsa
dan negara kita. Polemik itu antara lain, ialah polemik Sukarno dengan Mohammad
Natsir tentang hubungan Islam dengan Negara, polemik tentang Islam dan
Sosialisme antara Tjokroamitono dengan Semaun, dan Polemik Kebudayaan Timur dan
Barat antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Armijn Pane. Demikian pula
tulisan-tulisan bernada polemis yang dibuat oleh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir,
Sumitro Djojohadikusumo dan Sjafruddin Prawiranegara dan lain-lain di bidang
pembangunan politik dan ekonomi. Polemik intelektual tentang Islam dan
Sekularisme, yang terjadi antara Mohamad Rasjidi dengan Nurcholish Madjid,
sangatlah menarik untuk dibaca. Demikian pula polemik Mohamad Roem dengan
Rosihan Anwar yang berkaitan dengan sejarah politik di tanah air era tahun
1950-an. Kalau kita menelaah dengan seksama, polemik mereka sungguh sportif,
kesatria, argumentatif dan tidak menyerang pribadi seseorang, yang tidak ada
hubungannya dengan materi yang diperdebatkan. Mereka juga menggunakan kata-kata
yang sopan, sehingga nampak suasana saling hormat-menghormati, walaupun
perbedaan pendapat di antara mereka demikian tajam.
Polemik
yang bernuansa intelektual sebagaimana saya gambarkan di atas, tentu berbeda
jauh dengan kegiatan agitasi dan propaganda. Dua istilah ini sangat terkenal di
masa partai komunis masih kuat pengaruhnya. Sebelum itu, Adolf Hitler dan Jozef
Goebbels telah merancang propaganda Nazi dengan sangat canggih. Hampir
semua partai fasis dan partai komunis mempunyai suatu badan
tersendiri yang menangani masalah ini. Badan itu mereka namakan dengan
“Departemen Agitasi dan Propaganda” atau Agitprop yang berada di bawah
komite sentral partai tersebut. Agitasi adalah menyerang lawan dengan segala
cara dengan tujuan untuk merendahkan, memojokkan dan menjatuhkan. Pilihan
kata-kata sangat tajam dan lugas. Propaganda mempunyai nada yang hampir sama,
yakni menyampaikan fakta atau bukan fakta kepada publik dengan maksud untuk
membentuk publik opini, sesuai yang diinginkan oleh sang propagandis. Dalam
propaganda, segala kedustaan, penjungkir-balikan fakta, rumors dan fintah
adalah halal belaka. Agitasi dan propaganda melahirkan perang urat syaraf
atau psychological war.
Dalam
blog, ada tulisan-tulisan yang mengundang timbulnya polemik yang bernuansa
intelektual. Namun ada pula, tulisan-tulisan yang mengandung sifat agitasi dan
propaganda yang melahirkan perang urat syaraf. Tulisan yang bernuansa
intelektual memang mengajak kepada pencerahan. Namun tulisan yang bernada
agitasi dan propaganda, tentu jauh dari semangat itu, karena yang dicari
bukanlah kebenaran, tetapi upaya sistematis membentuk publik opini sesuai
keinginan orang yang melakukannya. Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di
zaman Hitler, mengatakan: Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik.
Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya. Tentang kebohongan
ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah
kebenaran yang dirubah sedikit saja. Ada sebuah peristiwa terjadi dan menjadi
sebuah fakta. Fakta itu kemudian “diplintir” sedikit saja dan disebarluaskan
dengan teknik-teknik tertentu, maka dengan serta merta dia akan menjadi
propaganda yang efektif. Sasaran propaganda tentu saja publik yang awam tentang
seluk-beluk suatu masalah.
Selama
saya menjadi asisten Professor Osman Raliby yang mengajar mata kuliah
propaganda politik dan perang urat syaraf di Universitas Indonesia sekitar
tahun 1978-1980, berulang kali beliau mengingatkan saya agar jangan menggunakan
teknik-teknik propaganda, karena semua itu bertentangan dengan etika dan
bertentangan dengan ajaran agama. Professor Osman Raliby pernah
“berguru” kepada Jozef Goebbels, ketika beliau belajar di Universitas Humbolt,
Berlin, menjelang Perang Dunia II. Kita harus jujur, fair dan adil. Demikian
nasehat Professor Raliby kepada saya. Kalau propaganda dihadapi
pula dengan propaganda, dunia ini akan makin centang perenang. Dengan
propaganda, orang dapat menciptakan “surga”, namun dengan propaganda juga orang
dapat menciptakan “neraka” di tengah sebuah komunitas. Seperti saya jelaskan
dalam Kata Pengantar blog ini, saya mengundang siapa saja yang berminat untuk
berdiskusi, bertukar pikiran dengan semangat intelektual atas dasar saling
menghormati. Tulisan singkat saya kali ini, mungkin dapat dijadikan bahan
pemikiran, untuk membedakan antara diskusi intelektual untuk mencari
pencerahan, dengan agitasi, propaganda dan perang urat syaraf yang dilakukan
untuk membangun citra buruk, memojokkan dan menjatuhkan demi kepentingan sang
agitator dan propagandis. Saya sungguh ingin menjauhkan diri dari kegiatan yang
bernuansa agitasi, propaganda dan perang urat syaraf.
Wallahu’alam
bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar