Tirto Adhi Suryo
Sang Pembebas yang Tersingkir dari Sejarah
Edited by : Basri Yusuf/March 25, 2012.
Untuk mengenang salah satu tokoh
Pembebasan Nasional, Tirto Adhi Suryo, yang wafat pada tanggal 7 Desember 1918.
Seorang besar acapkali baru
terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Dan selalu saja kita
terlambat menyadarinya. Tak terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran
historis kita, entah karena pemburaman ‘sejarah’ yang memang sering dikuasai
kaum yang menang atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam
menilai kembali ‘sejarah’ kita sendiri. Dan karenanya, kita telah melupakan
satu nama: Tirto Adhi Suryo. Sungguh ironis, mengingat dia adalah sosok paling
penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama
harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers
pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern.
Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum
terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum
mardika.
Pramudya Ananta Toer, penulis
besar beberapa kali, berturut-turut, dinominasikan meraih nobel kesusastraan
menuangkan segenap kekagumannya pada sang tokoh dengan menulis Sang Pemula dan tetralogi Buru:
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca.
Mencermati garis hidupnya, pada masanya Tirto memang seorang pribadi pemula,
dalam segala hal. Ia lebih dikenal, itu pun oleh segelintir orang saja, sebagai
perintis pers. Padahal, tangannya lah yang menciptakan hampir seluruh senjata
bagi perubahan ke arah dunia modern. Tirto merupakan seorang pribumi pertama
yang mendirikan NV (sebagai bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga
bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, perintis bidang periklanan,
perintis emansipasi kaum perempuan, sekaligus pendiri SDI (menurut ejaan
sekarang/MES: Serikat Dagang Islam), cikal bakal SI (MES: Serikat Islam),
organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia.
Terlahir di Blora tahun 1880,
dari keluarga aristokrat Jawa. Bapaknya, seorang Bupati bernama RM Tirtodipuro.
Djokomono, nama kecilnya. Satu hal yang membuatnya beruntung, karena asal
muasal kastanya, adalah kesempatan mendapatkan pendidikan Eropa, sehingga ia
bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya ‘kuno dan
menindas’, dengan kultur ‘modern yang membebaskan’.
Djokomono kecil tak mengenal
kedua orang tuanya dengan baik, sejak kecil ia hidup berpindah-pindah dari satu
keluarga ke keluarga yang lain yang memiliki jabatan-jabatan penting
pemerintahan di Jawa. Sosok yang ia sematkan hormat tertingginya adalah sang
nenek seorang perempuan agung, yang dengan gagah berani menghadap Gubernur
Jendral Hindia Belanda, memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya,
seorang Bupati di Bojonegoro. Sang nenek lah yang memberinya petuah-petuah
berharga: percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan
kehilangan pangkat. Sikap Tirto yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya:
bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari
pergaulan saudara-saudaranya. Terutama, setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan
jabatan bapaknya.
Tirto, pribadi penggelisah dan
sendiri, agaknya memang terlahir untuk membebaskan. Budaya tulis
menghantarkannya pada dunia yang agung dan gemilang. Ia adalah seorang jurnalis
pribumi pertama yang menulis dengan bahasa Melayu lingua franca. Ia adalah
jurnalis yang jangkauan gagasannya melambung jauh melebihi keadaan jamannya. Di
tangannya, pers menjelma sebagai senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi
Shiraishi menyebut bahwa Tirto lah orang bumiputra pertama yang menggerakkan
bangsa melalui tulisan. Tak berlebihan kiranya menyebut Tirto sebagai inisiator
kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa
proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisau: koran dan
organisasi!
Titik terpenting hidupnya
diawali ketika ia bersekolah di STOVIA pada usia 13 tahun. Ini memang tak
lazim, umumnya anak para bangsawan lebih memilih sekolah pamong praja, yang
menjamin jalan lempang menuju kekuasaan; sedangkan sekolah kedokteran, tentu
lebih condong dengan ‘pengabdian’ ketimbang kekuasaan. Di sekolah ini lah dan
di kota Batavia lah Tirto muda menempa diri dengan beragam pergaulan dan
pengetahuan. Di lingkungan sosial seperti itu lah lah ia, untuk pertama kali,
terbebas dari segala aturan feodal kebangsawanan yang menyesakkan.
Sejak mula cita-citanya cuma
satu: membuat surat kabar sendiri, sebagai suluh penerang bagi bangsanya.
Sayang, semua selalu terbentur ketiadaan dana. Baru lah, pada tahun 1903,
dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat
dengan ide-idenya, berdirilah surat kabar yang diberi nama Soenda Berita, yang
merupakan urat kabar pertama yang didirikan, dikelola dan diterbitkan oleh
orang pribumi. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan
pembaca memasuki dunia modern.
Pada tahun 1905, Tirto
mengembara ke Maluku. Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja
Bacan, Princess Fatimah, seorang perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir
berbahasa Belanda; seseorang yang kelak kemudian menjadi anggota redaksi Medan
Priyayi. Sepulang dari Maluku, tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial
warisan JP Coen, sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi
lebih lugas, lebih garang. Pada tahun
1907, ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah mingguan sederhana berformat 12,5 x
19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Ia memulai sebuah gagasan bentuk
perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan
memiliki saham perusahaan bernama NV Medan Priyayi. Itu lah bentuk perniagaan
pertama yang didirikan pribumi.
Setahun kemudian, mingguan Medan
Priyayi berubah menjadi harian. Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri,
radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai penyelewengan dan
kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan
pribumi. Semangatnya untuk menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan
semakin berkobar. Tulisan-tulisannya makin berani. Ia, yang sangat mengagumi
Max Havelaar, orang mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang dibungkus
politik etis. Pemerintah kolonial murka. Lantaran
tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto dibuang ke
Lampung, selama 3 bulan. Saat itu, hampir semua aktivis yang berani membuka
kedok kekuasaan kolonial ke media massa sempat dijebloskan ke penjara. Mereka
dijerat pers-delict, dianggap mengganggu rust en orde kolonial. Mas Marko,
seorang jurnalis muda radikal, 4 kali mendekam di tahanan lantaran
tulisan-tulisannya.
Sekembalinya dari pembuangan,
Tirto membenahi NV Medan Priyayi
yang sempat terbengkelai. Pada tahun 1907 ia mendirikan Sarekat Priyayi,
organisasi pribumi pertama, yang kemudian berubah menjadi SDI untuk
mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. Pada tahun 1911, ia
berkeliling ke kota-kota besar pusat modal pribumi untuk mengorganisir
pembentukan cabang-cabang SDI. Untuk itu, kepemimpinan SDI, untuk sementara,
diserahkan pada H. Samanhudi, seorang saudagar batik terkemuka di Solo. Peranan
Tirto sebagai pendiri SDI dikikis oleh H Samanhudi sendiri. Pemerintah
kolonial, yang sangat membenci Tirto, lewat DA Rinkers, seorang ilmuwan Belanda
yang mengabdi pada politik kolonial, membantu mengaburkan fakta ketokohan
Tirto. Hingga, kemudian, Samanhudi lah yang lebih dikenal sebagai pendiri SDI
yang, kemudian, berkembang pesat dan berubah menjadi SI.
Gerakan perempuan juga menjadi
komitmen Tirto. Pada tahun 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri
Hindia, yang melahirkan nama Siti Soendari, sebagai penulis termahsyur. Siti
Soendari, berpendidikan Belanda, lebih memilih menjadi perempuan merdeka, yang
bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua, yang menawarkan segala
fasilitas dan kemudahan. Jadi-lah Soendari sebagai sosok aktivis politik
perempuan pribumi pertama. Sebarisan srikandi yang bertarung melawan kekuatan
zaman bermunculan. Di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan
koran ‘Sunting Melayu”. Selain lewat koran, menurut Tirto, kemajuan gerakan
perempuan juga harus dimulai lewat sekolah, ia menjadi donatur tetap sekolah
perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.
1909-1912, adalah titik puncak
kegemilangan surat kabar harian Medan Priyayi. Jumlah pelanggannya mencapai
2.000 orang. Suatu masa yang sangat dicita-citakan Tirto sejak mudamenyaksikan
bangsanya bangkit dari kebodohan dan ketertindasan hampir saja tercapai.
Tetapi, karena gangguan kolonial, Medan Priayi, alat propaganda dan
pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh satu per satu
dan omsetnya terus merosot; setoran dari para pelanggannya macet; beberapa
perusahaan menolak pasang iklan. Medan Priyayi tak mampu melunasi biaya
percetakan. Akhirnya, Agustus 1912, Medan Priyayi gugur secara dramatis.
Seperti diistilahkan Pram, “semua
yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan
semangatnya.”
Sang tokoh ditahan lantaran tak
mampu melunasi tunggakan hutang. Sebagai hukumannya, ia dibuang ke Ambon pada
tahun 1913. Dua tahun berikutnya ia baru kembali ke Jawa, ketika semuanya telah
berubah. Jaman terus bergulir. Organisasi makin banyak bermunculan, puluhan
tokoh namanya terderek naik, menyesaki rongga ingatan rakyat. Pergerakan
nasional hampir mencapai titik terangnya.
Barangkali memang sudah menjadi
sebuah kelaziman sejarah, manusia-manusia berjiwa agung harus mengakhiri
periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan. Apakah itu Galileo, yang mati
di tiang gantung; Marx, Soekarno, juga Chairil Anwar, yang mati di ujung perih
dan sepi. Djokomono Tirto Adhi Soeryo, meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun.
Tak ada yang pernah memeriksa, sekalipun kawan-kawan dekatnya adalah
dokter-dokter termahsyur pada masanya. Ia telah terlunta-lunta, sendiri. Hotel
Medan Priyayi, miliknya, yang semula banyak menghidupi surat kabarnya, telah
berpindah tangan ke sahabatnya sendiri Gunawan, ketika ia masih dalam
pengasingan. Tirto bertahan sampai wafatnya di sana, karena itu lah
satu-satunya tempat ‘miliknya’ yang bisa dituju. Ia tak punya lagi sanak
saudara. Tirto yang, menurut propaganda kolonial, sangat berbahaya kondisinya
sudah rapuh dan papa, membuat semua sahabatnya menjauh.
Pada tanggal 7 Desember 1918,
seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam
tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke
peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar
kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan
dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang
merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto
Adhi Soeryo, lambat laun mengalun. Ia telah terbaring tenang. Sebagaimana
ditulis Pram dalam Sang Pemula: “ Seperti
jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap,
sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan
pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation
seperti Indonesia akan terbentuk?” **
*) Tulisan ini sudah pernah dimuat sebelumnya di
Koran PEMBEBASAN, edisi III / tahun I/ Agustus-September 2002.
pak....untuk sejarah komunikasi nya di mana?jadi bingung pak.....hehehehe
BalasHapuspak ,mengapa Tirto Adhi Suryo salah satu tokoh penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum mardika menjadi inspirasi bapak dalam blog ini,apakah masih ada tokoh2 penting seperti beliau ini?
BalasHapushidup tirto semoga keberanianmu memperjuangkan negara ini mengalir di darahku , sehingga di zamanku ini aku bisa menyuarakan perjuangan indonesia dari ketamakan para orang yang ingin menghancurkan indonesia. Hidup tirto.
BalasHapusini komentar haris widodo semester 4 pagi ( 01.10.042 )
BalasHapusYa sudah tahu, but what's your comment !.
Hapusizin tuk copy paste pak.,( 02.10.003 )-Kelas A.,Yayan Andryan
BalasHapusPlease deh.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTirto Adhi Suryo, "Bapak Pers Nasional", orang bumiputera pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji. Seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang.
Hapus01.10.010
Komunikasi Pagi
Semester IV
nama : Abdul Mutolib
BalasHapusNPM : 01 08 019
Komunikasi Reguler
Semester VIII
baca-baca.....
BalasHapusNama : Hendri Gunawan
NPM : 02.10.132 - Kelas A - ADMINISTRASI
Thank's, guy. By the way bacanya yang serius. dong !
HapusThank's, guy. By the way bacanya yang serius. dong !
HapusNama : Anwar Sadad
BalasHapusNPM : 02.10.063
Kelas A - ADMINISTRASI
Darmansyah
BalasHapus01.10.009
Komunikasi Pagi
Semester IV
saya sebagai mahasiswa,berpendapat bahwa kita sebagai anak bangsa jangan pernah melupakan sejarah,dimana sang pemula yang mengajarkan kita,dengan sebuah tulisan-tulisan yang tajam yang mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan,kesewenangan penjajah,hinga menjadi kaum mardika.
BalasHapusAss..
BalasHapusPak basri saya sudah berkomentar di blog bapak
Nama : Firmansyah
NPM :0210177
Kelas: JIA B
Tirto Adhi Suryo salah satu tokoh penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. dan ia sebagai kaum pemula yang mengajarkan dan membangkitkan pergerakan nasional melalui medan prijaji dan tulisan-tulisan nya yang tajam mengajarkan bangsa ini untuk bangkit dari jajahan kaum kolonial dan menjadi kaum mardika. Perjuangan yang ia lakukan patut dihargai karena ia bukan hanya pembangkit nasional tetapi ia juga membangkit emansipasi perempuan.
BalasHapuskita sebagai generasi penerus harus mempunyai jiwa nasionalisme seperti yang dimiliki oleh tirto adhi suryo,yang menghantarkan kita kepada kaum yang bebas dari jajahan.
FITRIYANA
01 10 004
JIK (PAGI)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTirto Adhi Suryo adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia.Karena beliau seorang pemula yang membangkitkan pers pribumi serta pintu gerbang bagi bebas nya kaum terjajah menuju kaum mardika. Beliau lah seorang pemula yang harus kita jadikan acuan dalam sejarah bangkitnya nasionalisme.Melalui tulisan nya yang tajam beliau mampu membangkitkan pergerakan nasional.
BalasHapusRINALDI HARYANTO
01 10 005
KOMUNIKASI PAGI
semangat dan perjuangan pak pemula ini harus di acungi jempol.
BalasHapustak banyak orang yang sebaya,sependidikan,sedrajat dengan nya mau memperjuangkan nasib pribumi yang di jajah ketidakadilan oleh kolonial.
YUDI KISWANTO
01.10.008
ILMU KOMUNIKASI (PAGI)
Wynn Slots for Android and iOS - Wooricasinos
BalasHapusA free app for slot machines from WRI Holdings wooricasinos.info Limited that lets you play the popular worrione games, such bsjeon.net as free video slots, table games www.jtmhub.com and live casino